Di Indonesia, AKM masuk kategori non-high stakes standardized testing karena hasil AKM tidak berdampak menghukum, baik bagi siswa, guru maupun institusi sekolah.
Data hasil AKM digunakan pemerintah untuk membuat pemetaan kompetensi literasi dan numerasi siswa dalam rangka menyusun kebijakan perbaikan kualitas pembelajaran di sekolah.
Tulisan ini akan berfokus pada high-stakes standardized testing seperti UN dan implikasinya pada kurikulum, suasana psikologis guru dan siswa, serta dampak sosial yang ditimbulkan.
Pemberlakuan high-stakes standardized testing berimplikasi negatif terhadap kurikulum. Hal ini terjadi karena standardized testing mengharuskan sekolah mengalokasikan lebih banyak waktu untuk mata pelajaran yang berkaitan dengan materi ujian terstandar.
Kondisi ini mengakibatkan penyempitan konten kurikulum dan terabaikannya sejumlah mata pelajaran yang tidak masuk dalam materi standardized testing seperti Kesenian, Kewarganegaraan, Olahraga, dan Sejarah.
Dampak berikutnya adalah hilangnya kesempatan bagi para siswa untuk mengasah kreativitas dan tidak terfasilitasinya pembelajaran individual (individualized/differentiated learning) di kelas (Thompson & Harbaugh, 2013).
Aktivitas pembelajaran di kelas didominasi kegiatan-kegiatan yang bersifat artifisial seperti melatih dan mempraktikkan strategi mengerjakan soal (test taking strategies) dan meningkatkan kemampuan menghafal dan mengingat.
Dalam situasi demikian, cooperative learning dan penerapan pembelajaran yang berorientasi high order thinking skills absen dari proses belajar mengajar di kelas.
Penyempitan kurikulum juga berdampak pada fragmentasi pengetahuan. Pembelajaran yang mengintegrasikan konten-konten lintas mata pelajaran tidak terjadi karena materi pelajaran diajarkan secara terpisah untuk mengantisipasi soal-soal yang muncul dalam ujian terstandar tersebut.
Akhibatnya adalah proses pembelajaran menjadi terpusat pada guru (teacher-centred learning) karena dialog interaktif, diskusi, dan pembelajaran kooperatif tidak terfasilitasi.