Menurut Antonio Gramsci, salah satu hegemoni kekuasaan negara terhadap rakyatnya adalah lewat jalur dan model pendidikan yang dipaksakan kepada mereka.
Hegemoni lewat jalur kultural itu akan terus menyebar dan memperluas jangkauannya dalam relung-relung kehidupan sebesar atau sekecil apapun.
Dengan demikian, cara berpikir dan bertindak rakyat akan terdominasi hal-hal yang disebar oleh aparat negara atau pejabat pemerintah.
Peran negara memang tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan. Negara melestarikan kekuasaannya melalui politik kebudayaan (cultural politics) yang disalurkan melalui lembaga-lembaga pendidikannya.
Oleh sebab itu, dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau sistem kekuasaan dalam suatu masyarakat. Biasanya, hal tersebut tidak disadari dalam suatu masyarakat.
Meskipun demikian, kekuasaan politik secara langsung seringkali berada dan merasuk dalam sistem pendidikan dengan bentuk objektif atau terang-terangan dan subjektif atau secara tidak disadari yang dikenal sebagai “hidden curriculum”.
Kurikulum yang berlaku dalam suatu negara sering digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Biasanya para pendidik dan masyarakat luas, tidak menyadari apa sebenarnya peranan kurikulum di dalam proses pembelajaran peserta didik.
Apabila dicermati, penyusunan kurikulum yang silih berganti di Indonesia, menunjukkan betapa kekuasaan yang berlaku menancapkan kukunya dalam penentuan isi kurikulum.
Menurut Bourdieu dan Passeron, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan mereproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah. Kekuatan kekerasan ini berasal dari hubungan kekuasaan yang sesungguhnya, disembunyikan oleh kekuatan pedagogis.
Dunia pendidikan memang seringkali menganggap bahwa kurikulum adalah soal teknis belaka. Namun, sebenarnya berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang sumber-sumber kekuasaan dalam dunia pendidikan.