MENTERI Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti segera mengkaji kebijakan menteri terdahulu. Langkah ini tentu harus dilakukan agar kebijakan pendidikan sesuai dengan visi presiden baru.
Menteri Abdul Mu’ti disebut akan melakukan beberapa kajian. Pertama, melakukan kajian ulang pada Kurikulum Merdeka, sistem penerimaan peserta didik baru melalui jalur zonasi, dan peniadaan Ujian Nasional (UN).
Mu'ti memastikan dirinya dan kementeriannya bergerak cepat dan menetapkan prioritas di beragam target.
Meski begitu, keputusan yang diambil tidak dilakukan tergesa-gesa dan dikaji secara keseluruhan, dengan mendengarkan masukan dari berbagai pihak.
Kedua, mengkaji format sekolah unggul terintegrasi. Mu'ti juga mengumumkan akan mengkaji rencana pembuatan format sekolah unggul terintegrasi.
Format tersebut termasuk dalam salah satu dari 8 program hasil terbaik cepat di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Sekolah ini mengakomodasi berbagai potensi dan bakat anak-anak Indonesia, termasuk pada sisi akademis, seni, hingga olahraga.
Dalam pandangan Mu'ti, format sekolah unggul terintegrasi turut memperhatikan asas berkeadilan dalam biaya pendidikan.
Mu'ti berharap agar sekolah unggulan tersebut dapat dijangkau oleh beragam lapisan masyarakat, sekali pun nantinya akan bertaraf internasional.
Sekolah unggul terintegrasi turut dikembangkan ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Imbasnya dilakukan penyesuaian peminatan pendidikan di SMK dengan budaya lokal dan potensi alam. Selain itu, akan ada pula beragam jurusan pada vokasi.
Ketiga, kualitas guru ditingkatkan. Kementerian Dikdasmen memberikan perhatian penuh agar bisa meningkatkan kualitas guru.
Upgrade keilmuan tersebut terutama ditujukan pada guru agar lebih menguasai numerasi dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) peserta didik. Pemerintahan Prabowo-Gibran memberikan prioritas agar peserta didik menguasai sains dan teknologi.
Peningkatan kualitas guru mencakup pula dalam hal bimbingan konseling (BK). Guru BK diharapkan memiliki peningkatan, serta guru-guru bidang studi juga diarahkan agar bisa mempunyai kemampuan konseling.
Keempat, meningkatkan kesejahteraan guru. Bocoran lainnya, Mu'ti mengatakan, telah terdapat porsi anggaran di 2025 yang digunakan untuk meningkatkan gaji dan kesejahteraan guru.
Hanya saja, ia belum bisa menyebut angka tentang besaran kenaikan gaji. Mu'ti berharap, peningkatan kesejahteraan ini memiliki korelasi positif pada kenaikan mutu pengajaran yang dilakukan para guru.
Rencana Abdul Mu’ti dan kementeriannya patut didukung. Namun, kiranya harus hati-hati dalam mengkaji kembalinya pelaksanaan UN dan mengganti Kurikulum Merdeka.
Hingga saat ini penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sarat dengan campur tangan pemerintah. Melalui kebijakan kurikulum, pemerintah mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Kurikulum Nasional mengatur proses belajar-mengajar semua sekolah yang ada di Indonesia, termasuk yang diselenggarakan oleh pihak swasta.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan, sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Semua sekolah tidak lepas dari “kewajiban” mengikuti Kurikulum Nasional. Pemerintah melalui Kurikulum Nasional membuat “penyeragaman” dalam penyelenggaraan pendidikan.
Penyelenggaraan Evaluasi Belajar merupakan bagian dari kurikulum yang dibuat oleh pemerintah, dan semua sekolah wajib mengikutinya.
Menurut Antonio Gramsci, salah satu hegemoni kekuasaan negara terhadap rakyatnya adalah lewat jalur dan model pendidikan yang dipaksakan kepada mereka.
Hegemoni lewat jalur kultural itu akan terus menyebar dan memperluas jangkauannya dalam relung-relung kehidupan sebesar atau sekecil apapun.
Dengan demikian, cara berpikir dan bertindak rakyat akan terdominasi hal-hal yang disebar oleh aparat negara atau pejabat pemerintah.
Peran negara memang tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan. Negara melestarikan kekuasaannya melalui politik kebudayaan (cultural politics) yang disalurkan melalui lembaga-lembaga pendidikannya.
Oleh sebab itu, dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau sistem kekuasaan dalam suatu masyarakat. Biasanya, hal tersebut tidak disadari dalam suatu masyarakat.
Meskipun demikian, kekuasaan politik secara langsung seringkali berada dan merasuk dalam sistem pendidikan dengan bentuk objektif atau terang-terangan dan subjektif atau secara tidak disadari yang dikenal sebagai “hidden curriculum”.
Kurikulum yang berlaku dalam suatu negara sering digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Biasanya para pendidik dan masyarakat luas, tidak menyadari apa sebenarnya peranan kurikulum di dalam proses pembelajaran peserta didik.
Apabila dicermati, penyusunan kurikulum yang silih berganti di Indonesia, menunjukkan betapa kekuasaan yang berlaku menancapkan kukunya dalam penentuan isi kurikulum.
Menurut Bourdieu dan Passeron, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan mereproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah. Kekuatan kekerasan ini berasal dari hubungan kekuasaan yang sesungguhnya, disembunyikan oleh kekuatan pedagogis.
Dunia pendidikan memang seringkali menganggap bahwa kurikulum adalah soal teknis belaka. Namun, sebenarnya berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang sumber-sumber kekuasaan dalam dunia pendidikan.
Kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan, yang berupaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antargenerasi dalam suatu masyarakat.
Dalam masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun, dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk, kurikulum adalah pertarungan antarkekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat.
Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui sistem persekolahan.
Sejak masa Orde Baru, Pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum, yaitu Kurikulum Nasional, yang dipakai sebagai acuan tunggal. Seluruh lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik di kota besar maupun di pelosok gunung, kurikulumnya sama.
Dengan demikian, proses pendidikan yang diterapkan adalah dalam upaya membentuk keseragaman berpikir.
Semua aspek kurikulum sudah diatur begitu rupa sesuai dengan proses domestifikasi, yaitu proses penjinakan dengan mematikan kreativitas dan menjadikan peserta didik sebagai “robot-robot” yang sekadar menerima transmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada.
Hasil proses domestifikasi bukanlah pembebasan, melainkan pembodohan (stupidifikasi).
Proses domestifikasi dan stupidifikasi itu masih sering ditambah lagi dengan proses komoditifikasi yang memunculkan kapitalisme pendidikan.
Pendidikan tidak diarahkan untuk kepentingan rakyat banyak, tetapi diarahkan agar menguntungkan secara ekonomis segelintir elite pengusaha, termasuk dalam kasus Ujian Nasional (UN), yang didukung birokrasi pendidikan.
Melalui proses pendidikan seperti itulah generasi muda Indonesia dibentuk oleh sistem pendidikan yang mengacu pada politik etatisme.
Dilihat dari sistem politik yang digunakan memang tidak ada yang salah dari sistem pendidikan yang diterapkan.
Di setiap negara otoriter di mana pun selalu tidak memberi kemungkinan tumbuhnya pemikiran kritis terhadap kekuasaan. Jalur pendidikan dipakai sebagai instrumen untuk mengarahkan kemana harusnya masyarakat berpikir.
Pendidikan di Indonesia telah menjalani proses yang amat berlainan dengan perkembangan kebudayaan. Pendidikan di Indonesia bukan lagi sebagai persoalan kebudayaan, tetapi lebih sebagai kepentingan politik di satu sisi dan di sisi yang lain adalah kepentingan ekonomi.
Dengan demikian, jika orang masuk ke lorong pendidikan di Indonesia, ia tidak menemukan proses berpikir kritis, tetapi justru menjadi terasing dari lingkungan sosialnya.
Pendidikan sekadar sarana untuk mengisi lowongan pekerjaan, tidak peduli apakah jenis formasi yang ditempatinya itu sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari atau tidak.
Belajar pertama-tama bukan bagaimana mengelola penalaran, tetapi agar bagaimana mendapatkan nilai yang baik sehingga ideologi Ujian Nasional/UN menjadi acuan dan ajang kompetisi.
Dengan demikian, janganlah mengkaji Kurikulum Merdeka dengan kepentingan politik. Yang utama sekarang kurikulum untuk siapa? Tentu untuk peserta didik.
Kurikulum adalah arah hidup peserta didik. Kita tentu masih ingat bagaimana Ujian Nasional membuat anak-anak menjadi stres dan kesurupan massal. Kembalikan kepada anak dan peserta didik apa yang menjadi hak anak.