Maka dari itu, para guru di pihak pro berpendapat bahwa UN harus kembali diterapkan sebagai indikator kelulusan siswa agar lulusan Indonesia tidak diremehkan di luar negeri.
Sementara itu, dilihat dari nilai Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia pada tahun 2018, tim kontra menyebut tidak ada peningkatan yang signifikan dalam bidang pendidikan sejak diadakannya UN dari tahun 2005 hingga 2021.
"UN itu paradigma tradisional, siswa dianggap sebagai objek yang sama rata karena hanya dinilai secara angka lewat UN," tegas pembicara 2 tim kontra.
Menurut tim kontra, pendidikan Indonesia harus maju ke paradigma baru, dimana setiap siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan mereka masing-masing dan dilakukan penilaian secara karakter.
"Kita tahu sendiri kalau UN hanya fokus pada kognitif, padahal nilai akhir ya hanya sekadar angka. Setiap anak itu punya nilai yang unik-unik, guru perlu melihat kemampuan anak secara holistik," ujar salah satu pembicara tim kontra.
Baca juga: Sebagian Guru Tolak Pengadaan UN Kembali, Paparkan 5 Alasan
Pihak pro setuju bahwa pengadaan UN memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Kendati demikian, pembicara 2 tim pro menegaskan bahwa biaya seharusnya tidak menjadi masalah terutama dalam rangka memajukan kualitas pendidikan Indonesia.
"Tentu saja butuh biaya yang besar, akan tetapi untuk memastikan pendidikan Indonesia, kualitas siswa-siswi Indonesia bagus, kita rela mengeluarkan uang yang banyak," ujarnya.
Di satu sisi, tim kontra menilai kendala biaya ini bukan hanya dihadapi oleh pihak penyelenggara UN, melainkan juga para siswa dan orang tua.
Peniadaan UN menurut tim kontra adalah hal yang tepat, mengingat banyaknya perbedaan kondisi seperti keadaan sosial ekonomi, fasilitas sekolah, dan sebagainya.