Pro dan Kontra UN Digelar Kembali, Sebagian Guru Setuju dan Menolak

Rabu, 6 November 2024 | 13:42 WIB
Para guru dalam sesi debat spesial mengenai pengadaan UN kembali dalam Temu Pendidik Nusantara (TPN) XI, Sabtu (2/11/2024). (DOK. Syabitha) Para guru dalam sesi debat spesial mengenai pengadaan UN kembali dalam Temu Pendidik Nusantara (TPN) XI, Sabtu (2/11/2024).

KOMPAS.com - Rencana penerapan Ujian Nasional (UN) sebagai syarat kelulusan menuai pro kontra di berbagai kalangan, termasuk para guru yang berperan besar dalam mendidik siswa di sekolah.

Ramai diperbincangkan, pro dan kontra pengadaan UN kemudian diangkat sebagai mosi debat spesial dalam acara Temu Pendidik Nusantara XI (TPN XI) yang digelar di Pos Bloc, Jakarta Pusat pada Sabtu (2/11/2024)

Dalam sesi tersebut, tim terbagi atas kelompok guru pro UN dan guru kontra UN yang berasal dari berbagai sekolah. 

Baca juga: Sebagian Guru Setuju Ujian Nasional Diadakan Kembali: Tingkatkan Motivasi Belajar

Pro kontra pengadaan UN sebagai standar kelulusan siswa

1. Tingkatkan motivasi atau justru tekanan pada siswa?

Pihak pro memandang UN merupakan salah satu cara meningkatkan motivasi belajar siswa. Melalui UN, siswa diharapkan memiliki mental yang siap berjuang.

"Kami adalah produknya (UN), Bapak-Ibu. Dan mungkin Bapak-Ibu semua adalah produk dari ujian nasional," ujar pembicara 1 tim pro dalam paparannya.

Salah satu alasan adanya peninjauan kembali UN sebagai standar kelulusan siswa di tahun 2023 oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemdikbud) dinilai merupakan akibat dari turunnya motivasi belajar siswa.

"Berarti ada sesuatu kan selama tahun 2020-2023? makanya UN dipertimbangkan lagi," ujar salah satu pembicara tim pro.

Sementara itu, pihak kontra menepis paparan terkait motivasi ini.

Baca juga: Beasiswa S1-S3 Stipendium Hungaricum 2025 Dibuka, Tanpa Syarat IPK

Mengutip hasil riset National Academy Science, pihak kontra beranggapan bahwa UN justru menimbulkan tekanan psikologis yang tinggi pada siswa.

Menurut tim kontra, para siswa cenderung tertekan dan stres terlebih ketika nilai akhir UN sudah keluar.

"Hal ini terbukti dari banyaknya kasus bunuh diri pada siswa setelah tahu nilai UN mereka dan gagal masuk ke sekolah favorit," ujar salah satu pembicara tim kontra.

2. Pantaskah UN menjadi standar pendidikan?

Lebih lanjut tim pro mengatakan bahwa UN merupakan salah satu upaya peningkatan standar pendidikan Indonesia.

Dengan adanya standarisasi pendidikan, maka sekolah dan guru pun akan turut berlomba-lomba untuk memperbaiki kualitas pendidikan agar dapat mencapai standar yang telah ditentukan di nasional.

Melalui pengadaan UN, pihak pro menilai adanya upaya pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.

"Ketika sekolah berlomba-lomba, disana ada upaya pemerataan kualitas pendidikan. Tanpa UN, ada indikasi menurunnya kualitas pendidikan," jelas pihak pro.

Menolak anggapan pihak pro, pembicara 1 tim kontra menyatakan bahwa UN tidak bisa menjadi standar untuk mengukur kemampuan peserta didik.

UN dianggap tidak mengukur keterampilan siswa secara holistik karena hanya terbatas pada aspek kognitif saja. Dalam belajar mempersiapkan UN, siswa hanya mengingat materi-materi yang akan diujikan tanpa ada tantangan untuk menguraikan ide kreatif siswa.

"Howard Gardner mengatakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah, menciptakan produk, dan menawarkan layanan. Kalau hanya terbatas pada ujian tertulis, artinya guru mengabaikan kemampuan dan kecerdasan siswa di bidang lainnya," tegas pembicara 1 tim kontra.

Baca juga: Mendikti: Alumni LPDP di Luar Negeri Tak Harus Pulang ke Indonesia

3. UN di mata internasional

Beberapa waktu lalu sempat ramai kabar mengenai beberapa universitas Belanda yang tidak lagi langsung menerima mahasiswa Indonesia akibat tidak adanya UN sebagai standar pendidikan Indonesia.

Tanpa UN, tim pro melihat adanya penurunan nilai ijazah sekolah Indonesia di mata internasional.

Maka dari itu, para guru di pihak pro berpendapat bahwa UN harus kembali diterapkan sebagai indikator kelulusan siswa agar lulusan Indonesia tidak diremehkan di luar negeri.

Sementara itu, dilihat dari nilai Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia pada tahun 2018, tim kontra menyebut tidak ada peningkatan yang signifikan dalam bidang pendidikan sejak diadakannya UN dari tahun 2005 hingga 2021.

"UN itu paradigma tradisional, siswa dianggap sebagai objek yang sama rata karena hanya dinilai secara angka lewat UN," tegas pembicara 2 tim kontra.

Menurut tim kontra, pendidikan Indonesia harus maju ke paradigma baru, dimana setiap siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan mereka masing-masing dan dilakukan penilaian secara karakter.

"Kita tahu sendiri kalau UN hanya fokus pada kognitif, padahal nilai akhir ya hanya sekadar angka. Setiap anak itu punya nilai yang unik-unik, guru perlu melihat kemampuan anak secara holistik," ujar salah satu pembicara tim kontra.

Baca juga: Sebagian Guru Tolak Pengadaan UN Kembali, Paparkan 5 Alasan

4. Pengadaan UN butuh biaya besar

Pihak pro setuju bahwa pengadaan UN memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Kendati demikian, pembicara 2 tim pro menegaskan bahwa biaya seharusnya tidak menjadi masalah terutama dalam rangka memajukan kualitas pendidikan Indonesia.

"Tentu saja butuh biaya yang besar, akan tetapi untuk memastikan pendidikan Indonesia, kualitas siswa-siswi Indonesia bagus, kita rela mengeluarkan uang yang banyak," ujarnya.

Di satu sisi, tim kontra menilai kendala biaya ini bukan hanya dihadapi oleh pihak penyelenggara UN, melainkan juga para siswa dan orang tua.

Peniadaan UN menurut tim kontra adalah hal yang tepat, mengingat banyaknya perbedaan kondisi seperti keadaan sosial ekonomi, fasilitas sekolah, dan sebagainya.

" Siswa yang di desa dan siswa di kota tentu punya persiapan yang berbeda. Antara siswa yang miskin dan kaya, satunya mampu ikut bimbel bayar mahal sedangkan satu lagi belajar ala kadarnya, ada kesenjangan," jelas guru pembicara tim kontra.

5. Gunakan UN bentuk baru atau asesmen nasional sebagai syarat lulus

Melihat sistem penilaian UN yang dianggap tidak menyeluruh,tim pro menawarkan bentuk UN baru yang lebih komprehensif dan menyasar banyak kemampuan siswa.

"Masih dalam bentuk tertulis seperti sebelumnya, tapi ada tambahan nilai internal dalam bentuk portofolio dan proyek siswa. Kemampuan berpikir kritis dan tingkat tinggi siswa juga dapat dinilai melalui esai," jelas tim pro.

Pihak pro mengklaim bentuk baru ini memastikan tidak hanya kompetensi kognitif yang disasar, tetapi juga banyak aspek seperti karakter dan sosial.

Menanggapi bentuk baru tersebut, tim kontra menganggap tim pro setuju dengan penghapusan UN.

"Oleh Kemdikbud sudah direalisasikan, yaitu melalui asesmen nasional yang menawarkan banyak proyek dan penilaian asertif," sanggah salah satu pembicara tim pro.

Tak hanya itu, melalui asesmen nasional, para guru dan sekolah berfokus pada kemampuan dan kebutuhan jangka panjang siswa.

Kecerdasan siswa yang berbeda-beda berpeluang untuk semakin dikembangkan dengan asesmen nasional, dan akan menjadi kemampuan yang dapat selalu terpakai di masa depan dibandingkan nilai UN yang hanya sekadar angka.

"Yang diharapkan dari peserta didik tahun berikutnya adalah pendidik yang merupakan pelajar sepanjang hayat. Gimana kalau melalui UN begitu ya anak cuma dinilai secara angka," pungkas pembicara 3 tim kontra.

Baca juga: FSGI Tolak Ujian Nasional atau UN Diterapkan Kembali

Dapatkan Smartphone dan Voucher Belanja dengan #JernihBerkomentar di artikel ini! *S&K berlaku
Komentar
Dapatkan Smartphone dan Voucher Belanja dengan #JernihBerkomentar dibawah ini! *S&K berlaku
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.