Saat itu, Kepala BSKAP Kemendikbud Ristek, Anindito Aditomo, menjelaskan bahwa penghapusan penjurusan dilakukan untuk menghindari ketidakadilan sosial di lingkungan sekolah.
"Salah satunya itu (karena orangtua rata-rata memilihkan anaknya masuk IPA). Kalau kita jurusan IPA kita bisa memilih jurusan lain," kata Anindito, dikutip dari Kompas.com, Senin (15/7/2024).
Menurut Anindito, banyak orangtua menyarankan anaknya masuk IPA agar memiliki lebih banyak pilihan program studi saat masuk perguruan tinggi.
Sayangnya, dominasi siswa IPA menyebabkan jurusan IPS dan Bahasa semakin kurang diminati dan kuota siswanya menyusut.
Dalam Kurikulum Merdeka, penjurusan diganti dengan sistem pemilihan mata pelajaran berdasarkan minat dan bakat siswa.
Siswa kelas 11 dan 12 dapat memilih mata pelajaran sesuai aspirasi studi lanjutan atau karier, tanpa harus terikat dengan label jurusan.
Meski memiliki fleksibilitas, penghapusan jurusan ini justru dinilai memunculkan masalah baru.
Dosen Sosiologi Pendidikan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), Tuti Budirahayu, menilai bahwa pelajar dari rumpun IPS dan Bahasa kerap mengalami stereotip negatif di masyarakat.
"Mereka yang masuk ke jurusan IPS dan Bahasa cenderung mendapatkan label sebagai anak-anak nakal, bandel, dan tidak secerdas anak-anak jurusan IPA," kata Tuti dikutip dari laman resmi Unair, Rabu (31/7/2024).
Ia menambahkan, siswa IPA lebih leluasa masuk ke berbagai jurusan di perguruan tinggi, termasuk jurusan yang seharusnya bisa dimasuki siswa IPS dan Bahasa.