Meninjau Ulang Ujian Nasional dan Pertimbangan Kebijakannya

Jumat, 25 Oktober 2024 | 14:53 WIB
Sejumlah murid melaksanakan UNBK ( Ujian Nasional Berbasis Komputer ) di SMK Negeri 3 Kota Tangerang, Banten, Senin ( 3/4/2017). Ujian nasional berbasis online tingkat SMK ini akan berlangsung hingga Kamis 6 April mendatang. (KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI) Sejumlah murid melaksanakan UNBK ( Ujian Nasional Berbasis Komputer ) di SMK Negeri 3 Kota Tangerang, Banten, Senin ( 3/4/2017). Ujian nasional berbasis online tingkat SMK ini akan berlangsung hingga Kamis 6 April mendatang.

UJIAN Nasional (UN) telah menjadi komponen sentral dalam sistem pendidikan Indonesia selama lebih dari enam dekade.

UN berperan penting sebagai alat evaluasi dan standarisasi capaian akademik tingkat pendidikan dasar dan menengah di seluruh negeri, memberikan gambaran jelas mengenai kinerja siswa dan sekolah.

Sejak diterapkan pada 1950-an, UN berfungsi tidak hanya sebagai syarat kelulusan, tetapi juga sebagai instrumen yang memungkinkan pemerintah memantau kesetaraan kualitas Pendidikan antarwilayah dan mengambil langkah intervensi di daerah yang membutuhkan.

Namun, pada 2021, kebijakan ini dihapus oleh Menteri Pendidikan saat itu, Nadiem Makarim dan digantikan oleh Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) serta Survei Karakter.

Reformasi ini bertujuan mengurangi tekanan pada siswa dan mengalihkan fokus dari penilaian berbasis angka ke pengukuran keterampilan seperti literasi dan numerasi.

Penghapusan UN telah membawa sejumlah tantangan, baik di dalam negeri maupun dalam konteks internasional.

Tanpa UN, pemerintah kesulitan untuk memetakan capaian akademik secara komprehensif dan membandingkan kinerja sekolah di berbagai wilayah.

Sekolah dan guru juga kehilangan tolok ukur objektif untuk menilai dan meningkatkan mutu pengajaran.

Selain itu, beberapa universitas di luar negeri memperketat syarat penerimaan bagi siswa Indonesia karena tidak adanya UN sebagai bukti kompetensi akademik formal, memaksa mereka mengikuti program pra-universitas untuk memenuhi standar internasional.

Sistem Ujian Nasional di beberapa negara

Malaysia memiliki sistem ujian nasional di tingkat dasar hingga menengah. Di akhir pendidikan dasar, siswa mengikuti UPSR (Ujian Pencapaian Sekolah Rendah), yang berfungsi sebagai penentu kelulusan dan penilaian pencapaian akademik mereka.

Di tingkat menengah, siswa mengikuti PT3 (Pentaksiran Tingkatan 3), sementara SPM (Sijil Pelajaran Malaysia) di akhir pendidikan menengah atas menjadi syarat penting untuk masuk perguruan tinggi.

Sistem ini memungkinkan pemetaan kinerja siswa dan memfasilitasi penerimaan di universitas lokal maupun internasional.

Singapura menerapkan ujian nasional di setiap jenjang pendidikan dengan Primary School Leaving Examination (PSLE) untuk siswa SD, yang menentukan penempatan mereka di sekolah menengah.

Di tingkat menengah, siswa menghadapi GCE O-Level dan A-Level, yang menjadi kualifikasi untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Pemerintah Singapura memanfaatkan ujian nasional untuk memantau perkembangan siswa dan memastikan bahwa setiap siswa ditempatkan di jalur pendidikan yang sesuai dengan kemampuan mereka.

Di China, ujian nasional Zhongkao berfungsi sebagai penentu kelulusan siswa dari pendidikan menengah pertama dan sebagai syarat untuk masuk ke sekolah menengah atas.

Di tingkat pendidikan menengah atas, siswa mengikuti Gaokao, ujian nasional yang sangat kompetitif dan menentukan penerimaan di universitas.

China mempertahankan ujian nasional ini untuk memastikan kualitas dan konsistensi pendidikan di seluruh negeri, meskipun ujian ini juga mendapat kritik karena tekanan yang tinggi.

Korea Selatan memiliki sistem pendidikan yang sangat berfokus pada ujian. Ujian Suneung (College Scholastic Ability Test) tidak hanya berfungsi sebagai ujian masuk universitas, tetapi juga menentukan kelulusan siswa dari sekolah menengah atas.

Sistem ini dianggap esensial untuk memastikan kualitas akademik dan seleksi masuk perguruan tinggi, meskipun siswa sering mengalami stres yang signifikan karena pentingnya hasil ujian ini bagi masa depan mereka.

Di Arab Saudi, siswa mengikuti ujian kelulusan di tingkat menengah yang disebut Tawjihi. Ujian ini menjadi syarat untuk masuk perguruan tinggi dan juga digunakan untuk memantau mutu pendidikan di sekolah.

Sistem ini memastikan bahwa siswa memiliki kompetensi dasar sebelum melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, dan Arab Saudi terus berusaha menyeimbangkan antara evaluasi akademik dan pengembangan keterampilan abad ke-21.

Inggris memiliki sistem ujian nasional yang mapan dengan GCSE di usia 16 tahun dan A-Level di usia 18 tahun.

Hasil GCSE menentukan apakah siswa dapat melanjutkan ke pendidikan tingkat lebih tinggi, sementara A-Level berfungsi sebagai syarat utama untuk masuk universitas.

Meski sistem ini kerap dikritik karena menciptakan tekanan tinggi pada siswa, ujian nasional tetap dipertahankan sebagai mekanisme akuntabilitas dan evaluasi yang andal.

Finlandia, meski dikenal dengan pendekatan pendidikan yang fleksibel dan menekankan proses belajar, tetap memiliki Matriculation Examination di akhir pendidikan menengah atas sebagai syarat masuk ke perguruan tinggi.

Ujian ini dirancang untuk mengukur pemahaman siswa secara menyeluruh, sejalan dengan fokus Finlandia pada pendidikan yang holistik dan berbasis kompetensi.

Di Amerika Serikat, meskipun tidak ada ujian nasional untuk kelulusan sekolah dasar dan menengah, setiap negara bagian memiliki standar evaluasi masing-masing.

Selain itu, ujian seperti SAT dan ACT tetap digunakan sebagai syarat masuk perguruan tinggi. Sistem ini memungkinkan fleksibilitas di tingkat sekolah menengah, tetapi standar evaluasi tetap dijaga melalui tes seleksi perguruan tinggi untuk memastikan siswa siap menghadapi pendidikan lanjutan.

Pertimbangan kebijakan untuk Indonesia

Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa ujian nasional tetap relevan untuk menjaga standar pendidikan dan memastikan konsistensi di seluruh wilayah.

Di Indonesia, wacana pengembalian Ujian Nasional semakin kuat setelah pergantian pemerintahan ke Presiden Prabowo.

Di bawah kepemimpinan Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, isu ini kembali menjadi topik pembahasan serius.

Abdul Mu’ti menekankan pentingnya mendengarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk guru, pakar pendidikan, dan masyarakat.

Ia berkomitmen untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan guna memastikan bahwa kebijakan yang dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan dan memberikan manfaat optimal bagi semua pihak.

Pengembalian UN tidak berarti mengulang kebijakan lama, tetapi perlu disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan masa kini.

Format baru UN harus berfokus pada pengukuran keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan adaptasi siswa, bukan sekadar hafalan.

Dengan pendekatan ini, evaluasi dapat mendorong proses belajar yang lebih bermakna dan mempersiapkan siswa menghadapi tantangan masa depan.

Kebijakan demikian akan memberikan pengalaman belajar yang relevan dengan tuntutan global sambil mempertahankan akuntabilitas pendidikan nasional.

Pemerintah juga dapat mempertimbangkan penggabungan UN dengan Asesmen Nasional sebagai dua instrumen yang saling melengkapi.

Asesmen Nasional dapat terus digunakan untuk menilai lingkungan belajar dan kompetensi dasar, sementara UN berfungsi sebagai tolok ukur akademik formal yang membantu seleksi pendidikan tinggi dan memberikan standar kelulusan terukur.

Kombinasi ini memungkinkan sistem evaluasi yang lebih komprehensif dan adil bagi siswa dengan beragam kebutuhan dan potensi.

Wacana pengembalian UN memberikan peluang bagi pemerintahan baru untuk merumuskan kebijakan evaluasi yang adaptif dan relevan, menggabungkan fleksibilitas dengan akuntabilitas.

Kebijakan ini harus mampu menjaga konsistensi mutu pendidikan di seluruh Indonesia dan menjawab tantangan wilayah yang memiliki akses pendidikan berbeda-beda.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan baru tetap memungkinkan inovasi dalam pembelajaran, tanpa kehilangan standar yang dapat diukur.

Dengan format yang lebih fleksibel, UN juga bisa dijadikan opsional bagi siswa yang berencana melanjutkan pendidikan ke luar negeri.

Ini akan memastikan bahwa mereka memiliki bukti kompetensi formal yang diakui secara internasional, tanpa memberikan tekanan berlebihan bagi siswa yang tidak memerlukannya.

Kebijakan ini akan membantu meningkatkan mobilitas siswa dan sekaligus memulihkan reputasi pendidikan Indonesia di mata dunia.

Dapatkan Smartphone dan Voucher Belanja dengan #JernihBerkomentar di artikel ini! *S&K berlaku
Komentar
Dapatkan Smartphone dan Voucher Belanja dengan #JernihBerkomentar dibawah ini! *S&K berlaku
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.