BELAKANGAN ini, publik di Indonesia digemparkan berita terkait kesulitan yang dialami siswa lulusan SMA sederajat untuk melanjutkan studi ke luar negeri, terutama ke Belanda (Kompas, 27/4).
Hal ini diduga karena Indonesia tidak lagi menerapkan ujian nasional sebagai syarat kelulusan.
Kabar ini menyebar luas setelah seorang pegiat media sosial mengunggahnya, yang kemudian memicu perdebatan di kalangan warganet. Pro dan kontra terhadap penghapusan ujian nasional kembali menyeruak, membawa isu ini menjadi sorotan publik.
Sebelumnya, dalam seminar pendidikan, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga melontarkan kritik keras terhadap Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.
Ia menilai kebijakan kontroversial seperti penghapusan ujian nasional dan pengenalan Kurikulum Merdeka berpotensi merusak semangat belajar siswa.
Baca juga: Jusuf Kalla: Indonesia Masih Perlu Adakan Ujian Nasional
Jusuf Kalla juga menegaskan bahwa Indonesia sebaiknya tidak meniru sistem pendidikan Finlandia yang tidak menerapkan ujian standar, seperti ujian nasional sebagai tolok ukur keberhasilan.
Menurut dia, sistem pendidikan yang lebih mengutamakan kedisiplinan dan standar evaluasi seperti di India, China, atau Korea lebih cocok diterapkan di Indonesia.
Dalam kritiknya, Jusuf Kalla juga mempertanyakan model pendidikan Finlandia yang dinilai kurang relevan diterapkan di Indonesia.
Finlandia, dengan jumlah populasi dan pendapatan per kapita yang jauh berbeda dari Indonesia, tidak bisa dijadikan acuan dalam menentukan arah pendidikan di Indonesia.
Pada 2024, jumlah penduduk Finlandia diperkirakan sekitar 5,617 juta dengan pendapatan per kapita sekitar 55.127 dollar AS. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia mencapai sekitar 282,477 juta dengan pendapatan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4.788 dollar AS.
Pandangan Jusuf Kalla bahwa Indonesia tidak perlu membandingkan dan meniru Finlandia ada benarnya, terutama jika dilihat dari perbedaan besar dalam hal sarana dan prasarana, kualitas SDM, dan kesejahteraan guru.
Distribusi fasilitas pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan Finlandia.
Namun, pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah kemajuan pendidikan benar-benar tergantung pada sarana dan prasarana yang lengkap?
Faktanya, meskipun telah ada upaya memperbaiki kesejahteraan guru melalui program sertifikasi dan peningkatan fasilitas pendidikan, kualitas pendidikan di Indonesia belum menunjukkan peningkatan signifikan.
Laporan Bank Dunia menegaskan perbaikan kesejahteraan guru dan peningkatan fasilitas saja tidak cukup untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Ada faktor lain yang lebih mendasar, seperti penilaian dan metode pembelajaran.
Penghapusan ujian nasional sebenarnya bukanlah keputusan yang diambil secara tiba-tiba. Proses negosiasi panjang melibatkan berbagai pihak, dari akademisi hingga politisi di parlemen.
Penghapusan ujian nasional juga bukan tanpa alasan. Selain praktik kecurangan yang merebak, ujian nasional juga memiliki sejumlah kelemahan, terutama dalam hal efek psikologis bagi siswa.
Ujian ini kerap hanya mengukur kemampuan kognitif tanpa memperhatikan aspek-aspek penting lainnya seperti kreativitas, kolaborasi, pemikiran kritis, dan karakter.
Selain itu, dari sudut pandang sosiologi dan politik pendidikan, ujian nasional dianggap memperdalam kesenjangan sosial karena akses terhadap sumber daya belajar yang merata masih menjadi masalah.
Namun, kritik dari pihak yang mendukung ujian nasional tetap kuat, terutama karena ujian ini dianggap sebagai cara paling mudah dan standar untuk mengukur capaian belajar siswa secara nasional.
Juga, untuk memacu semangat siswa perlu ada semacam pressure melalui ujian terstandar, seperti ujian nasional.
Kembali ke perdebatan seputar tidak diterimanya lulusan SMA Indonesia di luar negeri karena absennya nilai ujian nasional, hal ini berpotensi memperkuat wacana untuk kembali menerapkan ujian nasional.
Baik pegiat media sosial maupun Jusuf Kalla sama-sama memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik.
Wacana ini bisa memengaruhi keputusan kebijakan pendidikan di masa mendatang, terutama di era pemerintahan Prabowo Subianto.
Namun, perlu diingat bahwa penghapusan ujian nasional juga didukung oleh banyak akademisi dan praktisi pendidikan yang menganggap ujian tersebut tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
Saat ini, melalui Kurikulum Merdeka, pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian pembelajaran yang lebih menguatkan pada kemampuan berpikir kritis, bekerja sama, berkomunikasi, dan membangun kreativitas–keterampilan abad 21.
Kemampuan-kemampuan itu diejawantahkan melalui program penguatan profil pelajar Pancasila.
Juga, pembelajaran dengan menggunakan pendekatan terdiferensiasi, yang menurut tafsir Kemendikbudristek adalah pembelajaran yang menyesuaikan tingkat perkembangan siswa, menjadi hal yang baik dan perlu dilanjutkan.
Kemendikbudristek juga telah menyelenggarakan program sekolah penggerak dengan biaya yang tidak sedikit tentu dalam rangka menyukseskan apa yang menjadi visi Kurikulum Merdeka.
Perubahan kurikulum dalam pendidikan sudah sering terjadi di Indonesia. Namun menghidupkan kembali ujian nasional dengan segala ekses negatifnya merupakan suatu langkah mundur.
Daripada menghidupkan kembali ujian nasional, hal yang lebih mendesak adalah menciptakan penilaian hasil belajar yang lebih inklusif, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam Kurikulum Merdeka, penilaian sepenuhnya diserahkan kepada guru. Namun, tanpa standar jelas, ada risiko bahwa guru bisa memberikan nilai yang tidak mencerminkan capaian sesungguhnya.
Kasus guru yang sengaja menaikkan nilai siswa untuk tujuan tertentu, seperti tekanan dari orangtua atau untuk memenuhi syarat zonasi sekolah, adalah masalah yang perlu diatasi.
Kelemahan utama dari Kurikulum Merdeka saat ini adalah kurangnya standarisasi capaian pembelajaran.
Meskipun penilaian dapat berbentuk beragam, tetap harus ada standar penilaian dan rubrik yang jelas agar proses penilaian menjadi lebih transparan dan adil. Standar tersebut perlu mengacu pada indikator ketercapaian yang terukur dan realistis.
Wacana mengembalikan ujian nasional sebagai standar penilaian, menurut hemat penulis, kurang tepat. Ujian nasional hanya mengukur aspek kognitif dan tidak sesuai lagi dengan arah Kurikulum Merdeka yang lebih berfokus pada pengembangan kompetensi menyeluruh.
Saat ini yang krusial adalah memastikan bahwa penilaian oleh guru bersifat integratif dan akuntabel.
Selain itu, tenaga teknis dapat dilibatkan untuk membantu proses penilaian, atau alternatif lain adalah penilaian kolaboratif antarmata pelajaran yang melibatkan lebih banyak guru untuk mencapai standar yang telah ditetapkan secara valid dan reliabel.