Zaki Maharani, Lulusan S2 Seoul National University Tembus Magang di UN
KOMPAS.com - Tidak banyak anak muda Indonesia yang berhasil menembus sistem rekrutmen magang di Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB). Namun, Zaki Maharani berhasil mematahkan stereotip sulitnya masuk lembaga internasional itu.
Penerima Hyundai CMK Global Scholarship di Seoul National University ( SNU) tersebut kini menjalani program magang di United Nations Research Institute for Social Development (UNRISD), Jenewa, Swiss.
Perjalanan itu ia sebut sebagai momentum penting untuk mengubah jalur karier dari desain ke dunia penelitian dan kebijakan publik.
Baca juga: Ubah Kendala Bahasa Jadi Peluang Bisnis, Ini Kisah Inspiratif Pendiri China Go Saat Kuliah di China
Zaki menjelaskan bahwa peluang magang di PBB merupakan bagian dari program beasiswa yang ia terima dari Hyundai melalui Advance Programme on Human Rights and Sustainable Development (APOHS).
“Mereka punya banyak sekali program, dan salah satunya kerjasama dengan tempat magangku sekarang, yaitu UNRISD. Kebetulan saat aku daftar fellowship-nya diterima, dan paket beasiswanya memang sudah termasuk magang tiga bulan di UN,” ujarnya saat wawancara bersama KOMPAS.com, Kamis (20/11/2025).
Meski demikian, proses pendaftarannya tetap dilakukan secara mandiri. Beasiswa Hyundai bertindak sebagai sponsor biaya hidup selama masa magang.
“Daftarnya tetap mandiri, tapi karena butuh sponsor, Hyundai membantu membiayai hidup selama tiga bulan di Swiss. Jujur saja, biaya hidup di sini mahal sekali, jadi tanpa sponsor rasanya hampir tidak mungkin,” katanya.
Menurut Zaki, tidak ada formula pasti untuk bisa diterima magang di lembaga internasional.
Ia menyebut faktor ketekunan dan daya tahan menghadapi penolakan sebagai hal yang membuka jalannya hingga akhirnya diterima.
“Kita sebenarnya tidak pernah tahu alasan apa yang membuat kita diterima. Menurutku pribadi, kuncinya lebih ke resiliensi. Aku sudah terbiasa menerima banyak penolakan,” ungkapnya.
Ia mengaku melamar ke beberapa agensi dan badan PBB, bukan hanya satu.
“Aku daftar ke empat atau lima lembaga. Yang diterima hanya satu. Jadi menurutku kita harus tetap mencoba, bahkan setelah banyak penolakan,” ujarnya.
Baca juga: Cerita Fazhaliani, Wakili Indonesia ke YSEALI Academic Fellowship 2025
Pengalaman magang di PBB menjadi titik balik bagi Zaki yang sebelumnya bekerja selama lebih dari dua tahun di bidang desain.
Ia mengaku menemukan kembali, spark atau semangat bekerja, di ranah penelitian dan kebijakan.
“Sebelumnya aku tetap merasa ada yang kurang saat bekerja sebagai desainer. Aku ingin mencoba hal baru. Sewaktu mulai magang di UN, aku menemukan lagi rasa senang yang sudah lama hilang,” katanya.
Zaki menambahkan bahwa sebagian besar pekerjaannya di PBB berkaitan dengan riset.
Baca juga: Cerita Sondos, Warga Palestina Lulus S2 Cumlaude di Kampus Muhammadiyah
Swiss dikenal sebagai salah satu negara dengan biaya hidup paling tinggi di dunia.
Zaki mengakui bahwa dana yang diberikan Hyundai sangat membantu, meski tetap harus dikelola dengan ketat.
“Hyundai memberikan sekitar 3,5 juta won atau setara Rp 40 juta rupiah. Tapi karena kurs franc Swiss mahal, jumlah itu di sini jadi sekitar 1.900 franc,” jelasnya.
Sementara itu, biaya sewa kamar saja sudah menghabiskan hampir setengah anggaran.
“Harga sewa sekitar 900 franc atau Rp 18 juta rupiah. Makanan juga sangat mahal. Jadi aku memasak hampir setiap hari dan hampir tidak pernah makan di luar,” katanya.
Ia mengaku makan di luar hanya sekitar sekali seminggu, bahkan tanpa membeli kopi atau camilan.
Menurut Zaki, ada dua kemampuan utama yang harus dimiliki generasi muda Indonesia agar bisa bersaing dalam beasiswa, magang, maupun pekerjaan global, yaitu critical thinking dan komunikasi efektif.
“Bangun pemikiran kritis dan kemampuan komunikasi. Itu dipakai di mana-mana, terutama untuk beasiswa dan organisasi internasional,” jelasnya.
Ia juga mendorong anak muda belajar bahasa asing, memahami isu global, dan mengurangi konsumsi media sosial yang tidak produktif.
“Jangan banyak main media sosial yang tidak penting. Perluas wawasan, ikuti isu ekonomi, budaya, politik global. Itu jembatan untuk berkomunikasi dengan orang dari berbagai negara,” katanya.
Menurut Zaki, kesempatan seperti beasiswa dan magang internasional sangat terbuka bagi mahasiswa Indonesia, asalkan berani mencoba dan tidak berhenti ketika menghadapi kegagalan.
“Kita tidak pernah tahu peluang mana yang akan terbuka. Yang penting terus mencoba, resiliensi itu penting sekali,” tutupnya.