(ilustrasi) Suasana siswa kelas 12. Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) Prof. Dr. Syamsul Hadi minta TKA tidak menjadi wajibMALANG, KOMPAS.com - Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) Prof. Dr. Syamsul Hadi mengingatkan pemerintah agar pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) tidak menjadi sebuah kewajiban utama nantinya, baik secara langsung maupun tersirat, dalam sistem pendidikan formal nasional.
Hal tersebut disampaikannya saat dimintai pandangan mengenai efektivitas TKA sebagai alat evaluasi mutu pendidikan oleh pemerintah.
Syamsul menilai, kebijakan instrumen evaluasi atau penilaian mutu pendidikan berskala nasional di Indonesia cenderung hanya berganti nama, mulai dari Ebtanas, Ujian Nasional (UN), hingga kini TKA.
"Pergantian itu rasanya kalau dikatakan efektif kok ya belum ada bukti, ya. Apalagi yang belum. Jadi kalau menurut saya, untuk mengatakan efektif atau tidak, ya, lihat nanti jangka panjangnya," ujar Syamsul, Selasa (4/11/2025).
Baca juga: Siswa Mengaku Hari Kedua TKA Ketegangan Berkurang: Kan Mapelnya yang Kita Suka
Ia khawatir nasib TKA akan sama seperti ujian- ujian nasional pendahulunya.
Syamsul menyoroti saat adanya kritik terhadap kebijakan evaluasi di masa lalu.
Ia khawatir TKA akan kembali mendominasi program pendidikan di sekolah, sehingga semua energi murid hanya difokuskan untuk menghadapi tes tersebut seperti halnya UN.
"Kekhawatiran saya ke depan bagaimana ini tidak menjadi semacam itu," katanya.
Baca juga: Siswa Curhat: Kita Stres, Materi yang Sudah Dipelajari Malah Nggak Keluar di TKA
Ia menjelaskan, jika TKA terlalu didominasi, hal itu berpotensi diibaratkannya seperti menganakemaskan mata pelajaran tertentu. Akibatnya, kecakapan dan kompetensi lain bisa terabaikan.
"Kalau ini akan terjadi, maka jebakan terhadap kritik pendidikan di Indonesia selama ini yang selalu hanya terfokus pada aspek akademik dan mengabaikan kecakapan dan kompetensi yang lain akan terulang lagi," tegasnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah mengantisipasi agar pengalaman masa lalu tersebut agar tidak terjadi lagi. Poin penting yang ditekankan Prof. Syamsul adalah status TKA yang sebaiknya tidak wajib.
Ia mengkhawatirkan TKA, meski tidak menentukan kelulusan, namun menjadi syarat utama untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
"Jadi begini TKA ini nggak wajib, tapi bagi siapa mau melanjutkan (ke perguruan tinggi), nanti akan menggunakan itu sebagai salah satu instrumen untuk melakukan seleksi. Nah, ini menurut saya tidak apa-apa. Tetapi jangan ini menjadi satu-satunya tolak ukur," paparnya.
Baca juga: Kemendikdasmen Hadir di Jember Cek Pelaksanaan TKA di Sekolah, Pastikan Kejujuran Siswa
Ia juga mengapresiasi kebijakan pemerintah adanya multi jalur seperti zonasi dan prestasi yang dinilainya sudah berjalan baik serta memberi peluang bagus bagi masyarakat.
Syamsul berpandangan, bahwa TKA boleh-boleh saja digunakan sebagai salah satu instrumen, namun harus tetap ada alternatif lain.
"Orang yang tidak punya nilai TKA pun masih punya peluang untuk bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi," tambahnya.
Pria yang fokus karya ilmiahnya juga banyak membahas pendidikan formal ini memperingatkan agar status tidak wajib pada TKA benar-benar diterapkan secara konsisten.
"Kalau tidak wajib, tidak wajib. Jangan ada tatanan berikutnya yang justru mempersyaratkan itu," ujar dia.
Syamsul juga menilai bahwa momentum penerapan TKA yang dinilainya mendadak di akhir masa studi siswa. Ia menganalogikan hal ini seperti jebakan portal di ujung jalan.
"Kebijakan itu kan muncul tahun ini. Apakah selama 3 tahun anak-anak sekolah itu sudah belajar untuk menguasai kompetensi yang akan diujikan tadi? Jangan-jangan ini seperti jebakan portal," ujarnya.
Ia menilai tidak adil jika siswa diuji dengan format atau materi yang tidak dipersiapkan atau dipelajari selama proses pendidikan mereka.
"Harapan saya, soal-soalnya itu betul-betul apa yang sudah dipelajari anak-anak," katanya.
Lebih lanjut, Syamsul mengingatkan bahwa tujuan utama pendidikan adalah membangun kemampuan belajar siswa.
Menurutnya, sekolah harus mampu membuat anak senang belajar dan memiliki budaya belajar yang kuat.
"Jadikan anak-anak kita ini sebagai effective learner, cerdas dalam belajar untuk mempersiapkan diri menjadi life long learner (pembelajar sepanjang hayat)," kata Syamsul.
Ia menekankan, bahwa kemampuan belajar adalah kompetensi mendasar yang dibutuhkan siswa, bahkan setelah lulus dan memasuki dunia kerja.
Baca juga: Siswa di Pamekasan Kerjakan Soal TKA Diawasi CCTV, Sekolah Sebut Pengawasan Sangat Ketat
Syamsul menegaskan bahwa asesmen atau evaluasi di akhir masa studi adalah bagian yang wajar dari sebuah sistem pendidikan. Menurutnya, negara-negara maju juga menerapkannya.
Namun, ia menekankan bahwa hasil asesmen TKA tidak boleh hanya digunakan untuk alat ukur prestasi siswa atau evaluation of learning satu-satunya.
"Hasil dari ini (TKA) harus digunakan untuk memperbaiki apa yang harus kita perbaiki dalam sistem pendidikan nasional kita ke depan. Terutama kemampuan anak-anak untuk belajar," pungkasnya.