KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, beredar sebuah video di media sosial yang bertajuk “Miris! Bedanya Siswa Indonesia Vs Cina”. Video tersebut memperlihatkan kontras aktivitas di antara kedua negara.
Sekelompok pelajar Indonesia membuat konten tarian di platform sosial media, sementara pelajar Tiongkok ditampilkan sedang fokus belajar di berbagai kesempatan, termasuk saat berada di transportasi umum. Beberapa pelajar Tiongkok bahkan terlihat belajar sampai tertidur.
Merespons hal tersebut, Pengamat Pendidikan Totok Amin Soefijanto mengatakan bahwa video yang membandingkan anak didik Indonesia dan Tiongkok tersebut merupakan bentuk "unjuk rasa" dari pembuatnya yang merasa kesal dengan kondisi pendidikan Indonesia saat ini.
“Video itu tidak mewakili kenyataan yang ada, kalau kita mau melihat kondisi pendidikan saat ini, kita harus melihat data,” jelas Totok saat dihubungi Kompas, Minggu (02/02/2025).
Baca juga: Mendikdasmen: Anak-anak Lebih Sering Nyanyi Lagu Dewasa Dibanding Lagu Anak
Berdasarkan data Program Penilaian Siswa Internasional atau Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia berada di urutan 69 dari 80 negara di dunia, sementara di ASEN, Indonesia berada di peringkat 6 dari 8 negara.
Negara kita berada di bawah Vietnam yang berhasil mencapai urutan kedua setelah Singapura yang ada di posisi pertama. Dalam konteks pendidikan, Indonesia hanya unggul dari Filipina dan Kamboja.
“Angka Partisipasi Kasar (APK) kita masih di bawah 100 persen untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan masih terlalu rendah di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) meskipun Sekolah Dasar (SD) sudah di atas 100 persen. APK pendidikan tinggi juga masih berada di angka 32 persen, jauh dibandingkan Korea dan negara maju yang mendekati 100 persen,” jelas Totok.
Baca juga: 30 PTN Luar Jawa Punya Prodi Kedokteran di SNBP 2025, Ini Daya Tampungnya
Tingkat APK yang tinggi mengisyaratkan bahwa banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan. Artinya, masih ada anak usia SMP (13-15 tahun) dan SLTA (16-18 tahun) yang tidak bersekolah pada jenjang yang seharusnya. Sebagai contoh, jika APK SMP 80 persen, berarti dari 100 anak usia 13-15 tahun, hanya 80 anak yang melanjutkan pendidikan ke SMP.
Selain itu, masih banyak anak usia dini (umumnya 3-6 tahun) yang seharusnya masuk ke PAUD tidak mengenyam pendidikan prasekolah. Hal ini bisa berdampak pada kesiapan peserta didik untuk memasuki jenjang SD.
Begitu juga dengan APK pendidikan tinggi yang hanya 32 persen. Dari total populasi usia kuliah (19-23 tahun) hanya 32 persen yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Baca juga: PPDB Diganti SPMB, Federasi Guru: Pemerataan Mutu Sekolah Semakin Sulit
Rektor Institut Media Digital Emtek (IMDE) tersebut menegaskan bahwa keadaan pendidikan Indonesia bukan memprihatinkan, tetapi ketinggalan dibandingkan negara lainnya yang ukuran ekonominya setara.
Menurutnya Indonesia menghadapi tantangan besar berupa berbagai disparitas yang perlu segera diatasi, termasuk kesenjangan antara keluarga kaya dan miskin, kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, ketersediaan guru, serta literasi teknologi.
“Disparitas ini kalau tidak diatasi segera, maka Indonesia akan terjebak pada posisi serba lemah dalam mengatasi rendahnya kualitas manusia melalui pendidikan. Masalah guru saja, kita sampai saat ini ada yang belum sarjana S1 atau terapan (D4). Padahal, kriteria ini sudah ditetapkan hampir dua dekade yang lalu melalui UU Guru dan Dosen. Kenapa begitu sulit?” ujar Totok.
Totok berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu mengikuti sistem pendidikan Tiongkok ataupun Finlandia. Indonesia memiliki sejarah dan budaya masyarakat yang berbeda sehingga perlu menggali budaya sendiri untuk menemukan metode pendidikan yang tepat.
“Kalau mau kompetitif, anak-anak kita mampu bersaing di kampus-kampus top dunia. Kalau mau kolaborasi, anak-anak kita juga mampu bekerjasama dengan anak-anak dari negara maju,” katanya.
Namun,untuk bisa memberikan pendidikan yang baik dan dengan pendekatan yang juga tepat, para pemimpin bangsa juga harus bisa menunjukkan pendekatan yang terbaik untuk anak-anak Indonesia dalam belajar dan menguasai ilmu berdasarkan nilai-nilai budaya yang dimiliki bangsa ini.
“Para pemimpin bangsa ini harus bisa menunjukkan pendekatan yang terbaik buat anak-anak kita dalam belajar dan menguasai ilmu, berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa kita ini. Jadilah teladan, tunjukkan kebijakan yang baik dalam pendidikan,” imbuhnya.
Baca juga: Cara Registrasi Akun KIP Kuliah 2025, Klik kip-kuliah.kemdikbud.go.id
Totok juga menyoroti pentingnya mekanisme asesmen yang komprehensif. Menurutnya, Ujian Nasional (UN) memang diperlukan sebagai salah satu alat ukur, tetapi penerapannya selama ini justru kontraproduktif.
"UN adalah salah satu bentuk asesmen dalam proses pendidikan. Kita mengerjakan sesuatu di perusahaan saja ada ukuran kinerjanya. Ukuran semacam ini untuk melihat kemajuan kita seberapa dalam satu periode," jelas Soefijanto.
Namun, Soefijanto mengkritisi cara penerapan UN yang menurutnya keliru. "Proses pendidikan memerlukan suasana yang nyaman buat anak didik dan guru. UN yang selama ini diterapkan malah membuat anak didik stres dan bisa sampai bunuh diri. Cara kita menerapkan UN yang salah sehingga semuanya stres, tidak hanya anak didik."
Sebagai solusi, ia menekankan bahwa asesmen seharusnya tidak hanya terfokus pada siswa, tetapi juga mencakup seluruh komponen pendidikan.
"Asesmen sebaiknya dilakukan juga terhadap guru dan tenaga kependidikan. Uji kompetensi guru harus diterapkan setiap tahun untuk menjadi dasar perbaikan setiap guru," tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengusulkan penerapan Continuous Professional Development atau proses pembelajaran dan pengembangan profesional yang dilakukan secara berkelanjutan dan terencana (CPD) bagi semua kepala sekolah dan tenaga kependidikan untuk peningkatan kemampuan yang berkelanjutan.
“Sekarang kan kita tidak tahu mana guru yang kompeten, mana yang tidak,” tambahnya.
Baca juga: Kemendikti Pikirkan Skema Hasil UN untuk Seleksi Masuk Kampus 2026
Strategi utama yang diusulkan Totok adalah pembenahan kualitas guru sebagai garda terdepan pendidikan.
Menurutnya, masih banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi minimum S1/D4 meski persyaratan ini sudah ditetapkan hampir dua dekade lalu melalui UU Guru dan Dosen.
Banyak guru juga belum mampu menggunakan komputer, internet, dan teknologi digital dalam mengajar, padahal negara-negara lain sudah fokus melatih guru mereka untuk menguasai AI (kecerdasan buatan).
“Strategi pembangunan pendidikan kita harus mulai dari pembenahan kualitas guru ini. Ibu dan bapak guru ini yang berada di garis depan dalam perjuangan kita memajukan pendidikan. Tidak bisa lain. Guru kita masih banyak yang tidak bisa menggunakan komputer, Internet, dan teknologi digital dalam mengajar. Padahal, di luar sana banyak negara sudah bergegas melatih gurunya untuk menguasai AI (kecerdasan buatan),” tegasnya.
“Menurut seorang profesor dari Harvard, sebuah negara yang menguasai AI akan lebih diuntungkan daripada yang tidak menguasai AI, terlepas baik atau buruknya teknologi baru ini,” pungkas Totok.
Dengan demikian, alih-alih terjebak dalam perbandingan sekilas seperti yang ditampilkan dalam video viral, Totok menilai Indonesia perlu fokus pada upaya sistematis untuk mengatasi tantangan nyata dalam sistem pendidikannya, terutama dalam hal peningkatan kualitas guru sebagai ujung tombak pendidikan nasional.