KEMENTERIAN Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) saat ini tengah mengevaluasi kebijakan Ujian Nasional (UN). Ada kemungkinan opsi mengadakan kembali Ujian Nasional untuk menentukan kelulusan peserta didik.
Ada pula kemungkinan UN diadakan kembali, tapi bukan menjadi penentu kelulusan. Atau format baru yang berbeda dari sebelumnya.
“Kami sudah mengkaji semua pengalaman sejarah itu termasuk kekhawatiran masyarakat dan nanti pada akhirnya kami memiliki sistem evaluasi baru yang akan berbeda dengan sebelumnya," kata Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti di Kantor Kemendikdasmen (Kompas, 2024).
Pemerintah belum bersedia membocorkan sistem evaluasi yang berbeda itu seperti apa. Prof. Mu’ti memastikan bahwa Ujian Nasional versi baru kelak tidak akan dilaksanakan pada tahun 2025.
Pelaksanaan ujian nasional akan dibatasi pada sekolah-sekolah yang telah terakreditasi saja.
Baca juga: Mendikdasmen Tegaskan Sistem Ujian Nasional Akan Beda dari Tahun Sebelumnya
Sebagai seorang pendidik yang pernah mengajar madrasah swasta dan SMA negeri di daerah pelosok selama 8 tahun, saya termasuk yang tidak setuju dengan kebijakan UN dikembalikan sebagai standar tunggal penentu kelulusan.
Pun demikian, saya juga kurang sependapat jika UN dihidupkan, meski tidak sebagai penenentu kelulusan.
Mengapa? UN membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi ketika UN menggunakan alat manual seperti kertas dan pensil. Biaya pengadaan soal kertas itu sungguh memakan biaya yang tidak sedikit.
Kemudian, ada solusi ujian menggunakan komputer. Pertanyaannya, ada berapa sekolah di Indonesia yang sudah memiliki aliran listrik dan internet?
Dari data Dapodik tahun 2020 Kemendikbud mencatat terdapat 8.522 sekolah belum ada aliran listrik, dan 42.159 sekolah yang belum memiliki akses internet.
Tentu membutuhkan biaya yang tidak kecil pula untuk kemudian menjadikan sekolah-sekolah di Indonesia teraliri listrik dan internet. Pun demikian, setelah memiliki akses, sekolah tentu membutuhkan perangkat laptop dan/atau komputer.
Baca juga: Mendikdasmen: Ujian Nasional Hanya Bisa Diadakan Sekolah Terakreditasi
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mempertimbangkan secara mendalam untuk menggantikan Asesmen Nasional (AN) kembali menjadi UN.
Tidak perlu terburu-buru mengembalikan kebijakan UN yang saat itu dihentikan karena banyaknya kritik dari orangtua dan peserta didik.
Ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan sebelum benar-benar memutuskan menghidupkan kembali UN. Berikut beberapa pertimbangannya:
Pertama, UN menjadi sarana kecurangan berjamaah. Jika UN kembali hidup, maka akan memunculkan ketidakadilan khususnya pada sekolah pedesaan.
Bayangkan, satuan pendidikan yang bahkan akses listrik saja tidak ada harus mengerjakan soal yang dibuat oleh mereka di pusat sana.
Alasannya, agar bisa memetakan kualitas pembelajaran di satuan pendidikan, maka harus ada standar pengukurnya. Namun, mungkin mereka lupa bahwa standar kualitas sekolah di Indonesia belum merata.
Tentu tidak akan adil, sekolah dengan kualitas dan kuantitas guru yang super keren di Jakarta misalnya; fasilitas, sumber daya, dan media pengajaran yang mentereng harus mengerjakan soal yang sama dengan sekolah yang mempunyai sumber daya seadanya.
Akibatnya, dengan dalih membela peserta didik yang tidak mempuyai kekuatan berimbang dengan counterpart mereka yang di kota, banyak oknum guru dan kepala sekolah yang bermufakat melakukan kecurangan.
Jika tidak percaya, cari saja di Google soal kecurangan UN, maka akan muncul ratusan, bahkan ribuan berita tentang itu. Kecurangan ini bahkan tidak ditutup-tutupi.
Apakah pemerintah pada waktu itu tahu? Pasti tahu. Bagaimana mungkin sekolah di pelosok dengan fasilitas minim, nilai ujian bisa seragam: 90 ke atas?
Dari rangkuman berita dan pengalaman di lapangan, motif kecurangan tersebut di antaranya, satuan pendidikan berkompromi dengan pihak terkait untuk membongkar soal pukul 1 atau 2 dini hari. Lalu, soal tersebut dikerjakan dan esoknya kunci jawaban dibagikan.
Jika skenario pembongkaran soal dini hari tidak memungkinkan, pembongkaran soal dapat dilakukan pada subuh hari.
Saat soal diantarkan dari kantor polisi ke sekolah, saat itulah akan disiapkan ruang khusus untuk oknum guru mengerjakan soal yang dibongkar tersebut. Setelah itu kunci jawaban dibagikan.
Baca juga: Sejarah Ujian Nasional: Dimulai Sejak 1950, Akan Kembali Ada di 2026?
Modus lain, ada indikasi lembaga bimbingan belajar (bimbel), yang entah dari mana mampu memperoleh soal atau kunci jawaban siluman.
Lebih parahnya lagi, kunci jawaban dibacakan atau ditulis di papan tulis oleh pengawas ujian. Pengawas ujian, alih-alih menjaga agar ujian berjalan dengan tertib, sebaliknya ikut menjadi penyebar kunci jawaban secara terang-terangan.
Jika masih tidak percaya, mari kita buka kembali arsip-arsip nilai UN tahun-tahun lampau. Pasti nilainya tinggi-tinggi, bukan? Apakah kemudian nilai-nilai semu ini yang kita lahirkan kembali?
Kedua, jika untuk memetakan mutu pendidikan, mengapa murid yang dihukum?
Akhir-akhir ini tidak sedikit di media sosial yang menulis “kembalikan UN, karena negara tidak mampu memetakan kualitas pendidikan di Indonesia”.
Barangkali kita perlu berkaca kembali, beberapa tahun yang lalu, ketika banyak murid yang dinyatakan tidak lulus karena nilai UN rendah. Bahkan saya menyaksikan teman-teman SMA saya dari lokal yang berbeda, puluhan orang dinyatakan tidak lulus.
Hingga lima tahun kemudian, saya melihat sendiri murid saya, yang setiap pagi bertemu dan bercanda tawa. Setelah tiga tahun berjibaku di dalam kelas, lalu nasibnya ditentukan selama tiga hari saja. Benar, tiga hari saja.
Tangisnya pecah. Bukan hanya ia saja yang menangis, namun teman-temannya yang lulus ikut menangis. Ia merasa bodoh. Ia merasa tidak berguna. Ia merasa gagal membahagiakan orangtua.
Itukah yang akan kembali kita adakan? Menghukum murid-murid yang telah tiga tahun belajar. Murid-murid yang masih polos, tidak tidak paham apa itu pemetaan kualitas pendidikan.
Lalu pantaskah, dengan alasan sederhana itu, lalu kita menghukum murid-murid kita?
Adilkah kita mengorbankan mental peserta didik? Mengapa hanya mengevaluasi peserta didik? Mengapa tidak juga menguji kepala dinas pendidikan, pengawas sekolah? Anggota dewan yang menganggarkan dana pendidikan? Staf di Kementrian Pendidikan?
Ketiga, sikap, keterampilan, dan pengetahuan sama pentingnya. Mengapa hanya pengetahuan yang dijadikan patokan?
UN hanya menguji pengetahuan saja. Padahal selama peserta didik masuk di sekolah untuk mendapatkan pendidikan, bukan sekadar pengajaran saja.
Jika yang diujikan pada UN hanya pengetahuan saja, lalu bagaimana dengan kompetensi sikap dan keterampilan murid? Apakah sikap tidak penting? Apakah keterampilan sudah dianggap tidak perlu?
Jika demikian, akan arif dan bijaksana jika Kementerian Pendidikan diubah saja menjadi Kementerian Pengajaran. Sehingga guru tidak perlu berurusan dengan mendisiplinkan anak. Tidak lagi takut dilaporkan ke polisi karena menegakkan aturan sekolah.
Tentu guru akan lebih bahagia, karena tugasnya hanya sebatas mengajar, tidak mendidik.
Keempat, UN membuat mata pelajaran non-UN seolah tidak tenting. UN biasanya menguji mata pelajaran yang dianggap sebagai mata pelajaran inti: seperti Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, Bahasa Inggris.
Lalu, bagaimana dengan mata pelajaran lain seperti Pendidikan Jasmani, Pendidikan Agama Islam, Sejarah, Seni Budaya?
Apakah mata pelajaran non-UN tersebut tidak penting? Jika demikian, nanti akan ada guru yang mengatakan “mengapa saya harus mengajar dengan maksimal, toh mata pelajaran ini dianggap tidak penting.”
Tentu ini akan membuat friksi-friksi guru mapel UN versus guru mapel non-UN.
Terakhir, UN seolah mengisyaratkan pemerintah tidak percaya pada satuan pendidikan.
Pemerintah percaya pada dunia kampus untuk menguji mahasiswanya sendiri, dengan bentuk sidang skripsi sebagai syarat kelulusan.
Namun pemerintah tidak rela sekolah membuat sistem evaluasi sendiri untuk menentukan kelulusan murid mereka sendiri. Indikasinya, pemerintah ingin mengembalikan UN dapat memetakan mutu pendidikan.
Pertanyaannya adalah, jika sekolah melakukan ujian sendiri seperti halnya universitas, apakah pemerintah tidak bisa memetakan kualitas pendidikan?
Jika universitas bisa dipetakan kualitasnya tanpa ada ujian nasional yang terstandar, mengapa sekolah tidak boleh?
Bukankah yang lebih paham tentang murid adalah satuan pendidikan itu sendiri? Bukankah selama tiga tahun gurulah yang berjibaku mendidik dan mengajar murid-murid?
Lalu mengapa tiba-tiba yang menentukan kelulusan bukan guru atau sekolah?
Mengapa harus dibuatkan standar yang sudah terbukti selama ini tidak sesuai dengan yang diajarkan guru setiap harinya di kelas?
Dari semua argumen di atas, dan dari sejarah panjang pelaksanaannya, UN lebih banyak membawa mudharat ketimbang kebaikannya.
Jikapun kemudian pemerintah membuat versi berbeda, misalnya UN dibuat bukan untuk penentu kelulusan, pertanyaan lanjutannya adalah, apakah tidak akan mubazir menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk hasil semu dan rentan terhadap kecurangan.
Bukankah lebih baik mempertahkan Asesmen Nasional (AN) yang saat ini tengah dijalankan sebagai pengganti UN?
Jika memang AN ada kekurangan, tinggal diperbaiki. Tidak perlu membuat bentuk baru, yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan keefektifannya.
Selamat melakukan evaluasi untuk Kemendikdasmen, semoga apapun hasilnya tidak akan merugikan murid dan satuan pendidikan.