SISTEM Zonasi dan Ujian Nasional seolah terpisah, dua kebijakan berbeda. Namun, sebenarnya keduanya berkaitan.
Titik temunya adalah akreditasi sekolah, sebagai kunci harmonisasi antara Sistem Zonasi dan rencana Ujian Nasional sebagai pemetaan mutu pendidikan.
Benarkah kualitas lulusan suatu institusi pendidikan berkaitan erat dengan kualitas institusi pendidikan asalnya? Secara normatif jawabannya adalah ya.
Atmosfer akademis, kualitas pengajar dan proses belajar mengajar, ketersediaan buku dan bahan ajar, serta pengaruh rekan sebaya pada suatu institusi pendidikan, turut membentuk kualitas calon lulusan yang selama beberapa tahun mengikuti proses pendidikan di institusi tersebut.
Hal ini diakui secara umum, karena itu tidak mengherankan bila hampir semua orangtua berlomba memasukkan anaknya ke institusi berkualitas, serta bisa memberi jaminan pada khalayak luar bahwa alumni yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tersebut adalah alumni berkualitas baik.
Melalui pengamatan sehari-hari juga mudah ditemukan bahwa jumlah alumni dari suatu institusi pendidikan berkualitas umumnya lebih banyak melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi, daripada jumlah alumni dari institusi pendidikan lain yang kualitasnya dianggap berada di bawahnya.
Dan umumnya institusi pendidikan berkualitas memang menghasilkan alumni-alumni yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta rasa percaya diri lebih tinggi.
Dengan memperhatikan kondisi alami seperti yang diuraikan di atas, serta dengan didasarkan pada kenyataan bahwa proses pendidikan selama kurang lebih tiga tahun pada suatu institusi, dinilai oleh pihak lain yang belum tentu mengetahui proses terjadinya pendidikan di institusi tersebut.
Maka penulis mencoba melihat mungkin atau tidaknya suatu sistem pendidikan dengan tetap memperhatikan perlunya standar kelulusan yang didasarkan pada perbedaan kualitas siswa dan institusi pendidikan asalnya.
Seperti dalam pemberitaan, ada banyak kecurangan pada jalur zonasi. Mulai dari perubahan Kartu Keluarga siswa hingga kesengajaan intervensi melalui pejabat dinas atau sekolahnya.
Teknis mengukur lokasi zonasi yang tidak transparan. Banyak sekolah unggulan mendapatkan siswa yang berkualitas rendah, karena sekadar rumahnya dekat dengan sekolah tersebut.
Sampai akibat sistemik dari sistem zonasi, yang menyebabkan banyak sekolah swasta tutup karena kekurangan siswa.
Kualitas setiap institusi pendidikan memang berbeda-beda. Namun, dengan menetapkan beberapa indikator sebagai standar tertentu, maka setiap institusi pendidikan bisa dikelompokkan, apakah institusi tersebut memiliki indikator yang sesuai dengan standar atau tidak.
Seandainya pun sesuai standar, masih bisa dikelompokkan kembali, sesuai dengan predikat sangat baik, baik, cukup atau kurang.
Sebenarnya memungkinkan bila setiap institusi pendidikan, dalam hal ini pada jenjang sekolah menengah pertama dan atas (serta sederajat) diberi label memenuhi standar tertentu.
Semakin tinggi atau baik standarnya, maka diperbolehkan menerima siswa zonasi dalam jumlah lebih sedikit.
Misalkan, sekolah yang memang unggul atau berkualitas tinggi, anggaplah sekolah-sekolah favorit dengan akreditasi A atau Unggul, mungkin menerima siswa jalur Zonasi kota atau kabupaten lokasi sekolah tersebut berada cukup 20 persen.
Sedangkan sekolah biasa dengan akreditasi C atau sejenis, bisa menerima hingga 80 persen siswa jalur Zonasi. Fleksibilitas ini akan meningkatkan kompetisi dan pada akhirnya menghadirkan atmosfer akademik yang baik.
Penerapan Ujian Nasional memang diperlukan. Karena mengambil sedikit sampel, seperti pelaksanaan UN atau PISA, tidak bisa menjadi cermin peta mutu pendidikan secara nasional.
Penerapan Ujian Nasional bisa berjenjang, mulai dari akreditasi A, lalu tahun berikutnya, akreditasi B, dan berikutnya secara menyeluruh.
Label akreditasi, berarti sekolah memiliki tanggung jawab untuk mendidik siswa-siswinya sesuai dengan atmosfer akademis, kualitas pengajar dan proses belajar mengajar, ketersediaan buku dan bahan ajar, serta pengaruh rekan sebaya yang ada pada institusi tersebut.
Kelak pada masa menjelang kelulusan, sekolah tersebut melakukan evaluasi terhadap proses pendidikan yang telah berlangsung.
Salah satunya dengan melaksanakan hak dan wewenangnya untuk melakukan penilaian dan ujian kelulusan, terhadap siswa-siswi yang telah mereka didik selama bertahun-tahun.
Proses di atas memungkinkan masing-masing sekolah melakukan evaluasi, serta menetapkan standar kelulusan sesuai dengan kualitas yang ada pada masing-masing sekolah tersebut.
Cara ini memungkinkan adanya tanggungjawab sekolah atas para alumninya. Kualitas alumni yang baik akan membuat sekolah tersebut menjadi semakin baik pula.
Namun, kualitas alumni yang buruk justru akan membuat sekolah tersebut menjadi tidak dipercaya oleh masyarakat, serta akan turun standarnya ditinjau dari sudut pandang pendidikan.
Konsekuesinya, suatu institusi pendidikan pada jenjang lebih tinggi bisa menetapkan batas minimal sebagai syarat untuk memasuki institusi pendidikan tersebut.
Demikian juga dengan perguruan tinggi. Bisa menetapkan batas minimal persyaratan yang hampir sama. Hanya saja input siswanya adalah siswa yang berasal dari SMA atau sederajat.
Satu hal yang perlu ditekankan. Perbedaan standar minimum di atas dikarenakan memang secara alami ada perbedaan kualitas siswa dan institusi asalnya. Adanya perbedaan tersebut memang sudah terjadi secara alami.
Hal utama yang ingin ditekankan adalah bagaimana agar ujian yang menentukan kelulusan siswa, disesuaikan dengan kualitas siswa dan institusi asalnya.
Agar siswa tidak “kaget” dengan tuntutan yang sangat tinggi, padahal proses yang mereka alami sehari-hari tidak sampai setinggi itu. Dalam konteks ini, secara normal masing-masing sekolah akan berupaya mencapai standar tertinggi.
Dan kondisi ideal yang ingin diwujudkan adalah suatu kondisi di mana semua sekolah memiliki kualitas pendidikan yang sama, dan berada pada standar pendidikan terbaik.
Ketika semua sekolah memiliki kualitas pendidikan yang sama, serta berada pada standar pendidikan tertinggi, maka pada saat ini lah ujian yang sifatnya sama atau setara untuk semua siswa dari berbagai sekolah, atau disebut sebagai Ujian Nasional, baru bisa dilaksanakan.
Dalam konteks ini, secara normal masing-masing sekolah akan berupaya mencapai standar yang tertinggi secara kompetitif.
Dan kondisi ideal yang ingin diwujudkan adalah suatu kondisi dimana semua sekolah memiliki kualitas pendidikan yang sama, dan berada pada standar pendidikan yang terbaik.