Kelak pada masa menjelang kelulusan, sekolah tersebut melakukan evaluasi terhadap proses pendidikan yang telah berlangsung.
Salah satunya dengan melaksanakan hak dan wewenangnya untuk melakukan penilaian dan ujian kelulusan, terhadap siswa-siswi yang telah mereka didik selama bertahun-tahun.
Proses di atas memungkinkan masing-masing sekolah melakukan evaluasi, serta menetapkan standar kelulusan sesuai dengan kualitas yang ada pada masing-masing sekolah tersebut.
Cara ini memungkinkan adanya tanggungjawab sekolah atas para alumninya. Kualitas alumni yang baik akan membuat sekolah tersebut menjadi semakin baik pula.
Namun, kualitas alumni yang buruk justru akan membuat sekolah tersebut menjadi tidak dipercaya oleh masyarakat, serta akan turun standarnya ditinjau dari sudut pandang pendidikan.
Konsekuesinya, suatu institusi pendidikan pada jenjang lebih tinggi bisa menetapkan batas minimal sebagai syarat untuk memasuki institusi pendidikan tersebut.
Demikian juga dengan perguruan tinggi. Bisa menetapkan batas minimal persyaratan yang hampir sama. Hanya saja input siswanya adalah siswa yang berasal dari SMA atau sederajat.
Satu hal yang perlu ditekankan. Perbedaan standar minimum di atas dikarenakan memang secara alami ada perbedaan kualitas siswa dan institusi asalnya. Adanya perbedaan tersebut memang sudah terjadi secara alami.
Hal utama yang ingin ditekankan adalah bagaimana agar ujian yang menentukan kelulusan siswa, disesuaikan dengan kualitas siswa dan institusi asalnya.
Agar siswa tidak “kaget” dengan tuntutan yang sangat tinggi, padahal proses yang mereka alami sehari-hari tidak sampai setinggi itu. Dalam konteks ini, secara normal masing-masing sekolah akan berupaya mencapai standar tertinggi.