Sampai akibat sistemik dari sistem zonasi, yang menyebabkan banyak sekolah swasta tutup karena kekurangan siswa.
Kualitas setiap institusi pendidikan memang berbeda-beda. Namun, dengan menetapkan beberapa indikator sebagai standar tertentu, maka setiap institusi pendidikan bisa dikelompokkan, apakah institusi tersebut memiliki indikator yang sesuai dengan standar atau tidak.
Seandainya pun sesuai standar, masih bisa dikelompokkan kembali, sesuai dengan predikat sangat baik, baik, cukup atau kurang.
Sebenarnya memungkinkan bila setiap institusi pendidikan, dalam hal ini pada jenjang sekolah menengah pertama dan atas (serta sederajat) diberi label memenuhi standar tertentu.
Semakin tinggi atau baik standarnya, maka diperbolehkan menerima siswa zonasi dalam jumlah lebih sedikit.
Misalkan, sekolah yang memang unggul atau berkualitas tinggi, anggaplah sekolah-sekolah favorit dengan akreditasi A atau Unggul, mungkin menerima siswa jalur Zonasi kota atau kabupaten lokasi sekolah tersebut berada cukup 20 persen.
Sedangkan sekolah biasa dengan akreditasi C atau sejenis, bisa menerima hingga 80 persen siswa jalur Zonasi. Fleksibilitas ini akan meningkatkan kompetisi dan pada akhirnya menghadirkan atmosfer akademik yang baik.
Penerapan Ujian Nasional memang diperlukan. Karena mengambil sedikit sampel, seperti pelaksanaan UN atau PISA, tidak bisa menjadi cermin peta mutu pendidikan secara nasional.
Penerapan Ujian Nasional bisa berjenjang, mulai dari akreditasi A, lalu tahun berikutnya, akreditasi B, dan berikutnya secara menyeluruh.
Label akreditasi, berarti sekolah memiliki tanggung jawab untuk mendidik siswa-siswinya sesuai dengan atmosfer akademis, kualitas pengajar dan proses belajar mengajar, ketersediaan buku dan bahan ajar, serta pengaruh rekan sebaya yang ada pada institusi tersebut.